Senin, 29 Maret 2010

Industri Kayu


Industri kayu olahan untuk pasar ekspor mulai dikembangkan oleh perusahaan di Indonesia pada tahun 1986 sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah yang melarang ekspor kayu bulat dan hanya mengizinkan ekspor kayu gergaji maupun kayu olahan lainnya, seperti "furniture, laminating board, wood panel" dan lain sebagianya. Pengembangan industri mebel dapat dilihat dari nilai ekspor barang jadi kayu yang pada tahun 1986 berjumlah US $ 99 juta dan pada setiap tahun berikut baik menjadi US $ 527 juta pada tahun 1997.

Konsumen kayu gergajian dalam negeri yang terbesar adalah sektor perumahan dan sektor kostruksi. Kemudian sejak 1986 industri hilir baru mulai didirikan, misalnya industri perabot rumah dari kayu "moulding dan laminating" dsb. Konsumsi kayu olahan dalam negeri lebih besar dibandingkan dengan produk kayu yang diekspor, meskipun ekspor produk kayu olahan sangat potensial untuk dikembangkan.

Permintaan di luar negeri atas perabot rumah tangga maupun barang komponen dari kayu, cukup mantap dan meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode krisis ekonomi yang melanda Indonesia masa kini, peningkatan ekspor barang-barang dengan nilai tambah tinggi adalah salah satu langkah untuk mengatasi krisis. Industri kayu olahan yang padat tenaga kerja dapat menciptakan peluang kerja dan dapat pula menahan daya beli (konsumsi) di daerah di mana perusahaan ekspor tersebut berada.

Subsektor industri kayu olahan yang memproduksi perabot maupun komponen kayu untuk pasar ekspor mempunyai prospek bisnis yang sangat baik, karena bahan baku, tenaga kerja maupun sebagian besar dari faktor produksi lain berasal dari dalam negeri.

Hampir seluruh hasil produksi barang ekspor dari industri kayu tersebut dikirim ke para pembeli di luar negeri dari pelabuan-pelabuhan di kota besar pulau Jawa, yaitu dari Jakarta, Cirebon, Semarang dan Surabaya. Sasaran utama pasar domestik produk kayu olahan tersebut adalah rumah tangga serta perusahaan dan lembaga di pulau Jawa.

Sebagian besar dari perusahaan yang bergerak di subsektor kayu olahan adalah perusahaan skala kecil dan menengah. Sekitar 80 % dari perusahaan tersebut berada di pulau Jawa bagian utara, karena tenaga kerja tersedia dengan jumlah besar dan biaya upah memadai. Oleh karena kapasitas produksi terbatas dan peluang pasar lebih besar dari kapasitas produksinya, produsen barang jadi kayu olahan skala UM/UB yang mengekspor produksinya, sudah lama bekerjasama dengan kelompok-kelompok pengarajin kayu.

Sejak pemerintah meluncurkan Program Kemitraan antara usaha menengah atau besar dengan usaha kecil, peluang untuk menciptakan proyek kemitraan terpadu antara kedua pihak menjadi fokus instansi pemerintah maupun dunia usaha industri kayu olahan.

Yang masih menjadi kendala, industri kayu di Indonesia masih mengandalkan mesin impor dari berbagai negara, terutama Jepang, Taiwan, China, Malaysia, Jerman, dan Italia, karena industri mesin pengolahan kayu di Indonesia masih lemah.

Meski demikian, Indonesia memiliki prospek pengembangan industri kayu terutama mebel yang sangat besar, setelah Cina dan Vietnam. Diperkirakan setelah "booming" permintaan mebel dari Cina dan sekarang beralih ke Vietnam, maka selanjutnya Indonesia yang menjadi negara produsen mebel yang besar.

Untuk itu, Indonesia harus mengelola hutannya dengan baik dengan prinsip kelestarian lingkungan dan kesinambungan, mengingat negara tujuan ekspor seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat, konsumennya sangat memperhatikan pengelolaan hutan lestari.